ShahihLi Dzatihi adalah sebuah hadis yang mencakup semua syarat hadis sahih dan tingkat rawi berada pada tingkatan pertama. Membaca Peringkat Hadis Ma Had Aly Hasyim Asy Ari . 1 Sohari Sahroni Ulumul Hadits Bogor. Syarat Syarat Perawi Hadits Tingkatan 1. Yaitu hadits yang mutawatir dari sisi. Yaitu Hadits yang memenuhi 5 syarat berikut ini.

Hadits shahih harus memenuhi beberapa persyaratan ketersambungan sanad, perawi adil, hafalan perawi kuat, tidak ada syadz, dan tidak ada illah. Lima persyaratan ini disimpulkan dari defenisi hadits shahih itu sendiri. Kalau hilang salah satu dari lima syarat ini, kualitas hadits berubah menjadi antara persyaratan hadits shahih yang harus dipenuhi adalah perawi harus adil dan dhabith hafalannya kuat. Menurut Mahmud Thahan dalam Kitab Taysiru Musthalahil Hadits, yang dimaksud dengan adil adalah dan dhabit di sini adalah sebagai berikutالعدالة ويعنون بها أن يكون الراوي مسلما بالغا عاقلا سليما من اسباب الفسق سليما من خوارم المروءة. والضبط ويعنون به أن يكون الراوي غير مخالف للثقات ولا سيء الحفظ ولا فاحش الغلط ولا مغفلا ولا كثير الأوهامArtinya, “’Adalah adil ialah perawinya Muslim, baligh, berakal, tidak melakukan perbuatan fasik, dan tidak rusak moralnya. Sedangkan dhabit ialah periwayatan perawi tidak bertentangan dengan perawi tsiqah lainnya, hafalannya tidak jelek, jarang salah, tidak lupa, dan tidak keliru.”Adil yang dimaksud dalam istilah ilmu hadits berati seorang perawi harus beragama Islam, baligh dan berakal, serta tidak melakukan perbuatan fasik dan moralitasnya tidak rusak. Dengan demikian, kalau ada perawi yang melakukan perbuatan tercela atau pernah bohong misalnya, maka hadits yang diriwayatkannya tidak bisa dhabit berkaitan dengan kekuatan hafalan dan seorang perawi jarang melakukan kesalahan. Orang yang kekuatan hafalannya bagus, periwayatannya tidak akan bertentangan atau menyalahi hadits yang diriwayatkan oleh perawi tsiqah lainnya. Kalau ada perawi yang meriwayatkan hadits bertentangan dengan perawi tsiqah, besar kemungkinan hafalannya Kitab Taysiru Musthalahil Hadits, Mahmud Thahan juga menjelaskan cara untuk mengetahui perawi itu adil dan dhabit. Menurutnya, ada dua cara yang bisa dilakukan untuk mengetahui keadilan perawiPertama, kualiatas perawi hadits dapat diketahui berdasarkan pengakuan dari perawi lain atau ulama kualitas perawi hadits bisa diketahui dari popularitasnya. Orang yang sudah populer kualitas dan kealimannya tidak perlu lagi pengakuan dari ulama hadits. Maksudnya, tanpa pengakuan pun periwayatannya sudah bisa diterima karena sudah populer. Misalnya, hadits-hadits yang disampaikan oleh imam empat madzhab, Sufyan Ats-Tsauri, Azra’i, dan ulama terkenal cara mengetahui kualitas hafalan perawi adalah dengan cara membandingkan hadits yang disampaikannya dengan perawi tsiqah lainnya. Kalau hadits yang disampaikannya sesuai dengan perawi tsiqah lainnya berarti kualitas hafalannya bagus. Apabila bertentangan dan berbeda dengan perawi tsiqah, maka hafalannya dianggap bermasalah dan tidak bisa dijadikan pedoman kalau kesalahannya terlalu fatal. Wallahu a’lam. Hengki Ferdiansyah
Adayang mengatakan, bahwa di samping syarat-syarat sebagaimana disebutkan di atas, antara satu perawi dengan perawi lain harus bersambung, hadits yang di sampaikan itu tidak syad, tidak ganjil, dan tidak bertentangan dengan hadits-hadits yang lebih kuat ayat -ayat Al-Quran. B. Proses Transformasi (Tahammul Wa Ada') Hadits. 1.
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. syarat syarat seorang perawi dan proses transformasi Mayoritas ulama hadist, ushul dan fiqih berpendapat dan sepakat bahwa seorang guru yang menyampaikan sebuah hadist harus mempunyai ingatan dan hafalan Olabit, serta memiliki integritas keagamaan yang keudian melahirkan tingkat kredibilitas sifat adil dalam hubungannya dengan periwayatan hadist maka yang dimaksud adalah, suatu karakter yang terdapat dalam diri seorang yang selalu mendorongnya melakukan hal-hal yang positif atau orang yang selalu konsisiten dalam kebaikan dan mempunyai komitmen tinggi terhadap sebagian sarjana Muslim atas peran hadis sebagai sumber otoritas kedua setelah al-Qur’an, tidak sepenuhnya berkaitan dengan resistensi mereka atas otoritas sunnah, tetapi lebih pada keraguan mereka atas keakuratan metodologi yang digunakan dalam menentukan originalitas hadis. Apabila metodologi otentifikasi yang digunakan bermasalah, maka semua hasil yang dicapai dari metode tersebut tidak steril dari kemungkinan kemungkinan verifikasi ulang, kritik sejarah bahkan hasil tersebut bisa menjadi hadis sebagai sumber otoritas Islam. Hadis yang dianggap sebagai verbalisasi sunnah oleh umat Islam terlalu penting untuk diabaikan dalam kehidupan beragama, sosial dan politik. Hadis bukan hanya sebagai sumber hukum Islam yang berdiri sendiri, tapi juga sebagai sumber informasi yang sangat berharga untuk memehami wahyu Allah. Ia juga sebagai sumber sejarah masa awal Islam. Singkatnya, ada hadis hukum, hadis tafsir dan hadis sebagai sumber sejarah dan moral. Dalam anatomi hukum Islam, hadis merupakan salah satu kalau bukan yang terpenting sumber untuk disini kami akan mencoba untuk membahas mengenai syarat seorang perawi dan cara mereka menerima dan menyampaikan riwayat. Pengertian RawiMenurut ilmu hadits Rawi adalah “orang yang meriwayatkan hadits”. Salah satu cabang dari penelitian hadits adalah penelitian terhadap rawi hadits. Baik menyangkut sisi positif maupun sisi negetif perawi. Ilmu ini dikenal dengan istilah ilmu Jarh dan Ta’dil. Ilmu ini membahas tentang kondisi perawi. Apakah dapat dipercaya, handal, jujur, adil, dan tergas atau dan Ta’dil sebenarnya berasal dari ilmu rijalul hadits. Mustafa Al Saba’i memasukkan ilmu ini sebagai salah satu ilmu yang paling berharga dalam “Ulum Al Hadits”. Melalui ilmu ini kajian dan penelanjangan terhadap rawi hadits akan terjadi kredibilitas perawi hadits akan terukur dengan jelas. Mengingat ilmu ini sangat penting. Siapapun yang menggeluti hadits ia harus mempelajarinya. Karena ilmu ini menjadi penentu hadits, apakah termasuk shohih atau tidak. Layak dijadikan sumber hukum atau rawi yang adil harus memiliki karakteristik moral baik, muslim, telah baligh, berakal sehat, terbebas dari kefasikan dan hal – hal yang menyebabkan harga dirinya jatuh dai ia meriwayatkan hadits dalam keadaan yang terdapat dalam diri seorang rawi, mendorongnya agar selalu melakukan hal – hal postif atau rawi selalu konsisten dalam kebaikan dan mempunyai komitmen yang tinggi terhadap agamanya. Maka dari itu rawi di tuntut mengetahui atau menguasai isi kitabnya. Jika meriwayatkan haditsnya dari kitab dan juga ia harus mengetahui hal – hal yang dapat menggangu makna hadits yang diriwayatkan. syarat-syarat seorang perawi dan proses transformasiBenar – benar memiliki pengetahuan bahasa arab yang mendalam. Diantaranya, perawi harus seorang ahli ilmu Nahwu, sharaf dan ilmu bahasa, mengerti konotasi lapadz dan maksudnya, memahami perbedaan – perbedaan dan mampu menyampaikan hadits dengan dalam kondisi terpaksa. Lupa susunan harfiahnya, sedangkan kandungan hadits tersebut sangat diperlukan. Hal ini dianggap baik dari pada tidak meriwayatkan suatu hadits, atau enggan meriwayatkan hadits dengan alasan lupa lapadznya sementara nilai pokok hukum yang terkadung dalam hadits tersebut sangat diperlukan ummat harus menyertakan kalimat – kalimat yang menunjukkan bahwa hadits tersebut diriwayatkan dengan periwayatan makna seperti terungkap pada kalimat – kalimat “Ad kama kola”.Menurut periwayatan hadits dengan cara bi al makna Makna di perbolehkan apabila lapdz – lapadz hadits tersebut lupa. Periwayatan itu tidak merusak maksud, sehingga terpelihara dari kesalahan periwayata. Tetapi cara ini hanya akan berlaku pada zaman sahabat yang langsung mereportase prilaku periwayatan hadits dengan makna terbatas, pada masa sebelum di bukukan hadits nabi secara resmi. Sesudah masa pembukuan tadwin hadits. Harus dengan lapadz. Kedudukan boleh tidaknya meriwayatkan hadits denan makna, sejak sahabatpun sudah controversial, namun pada umumnya sahabat memperbolehkannya. Tetapi, sebenarnya mereka yang berpegang teguh pada periwayatan dengan lapadz tidak melarang secara tegas sahabat lain dalam meriwayatkan hadits dengan hadits yang diterima 1. Sanadnya harus muttasil bersambung, artinya tiap-tiap perawi betul-betul mendengar dari gurunya. Guru benar-benar mendengar dari gurunya, dan gurunya benar-benar mendengar dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. 2. Perawi harus adil. Artinya, perawi tersebut tidak menjalankan kefasikan, dosa-dosa, perbuatan dan perkataan yang hina. Perawi yang adil adalah perawi yang muslim, baligh dapat memahami perkataan dan menjawab pertanyaan, berakal, terhindar dari sebab-sebab kefasikan dan rusaknya kehormatan contoh-contoh kefasikan dan rusaknya kehormatan adalah seperti melakukan kemaksiatan dan bid’ah, termasuk diantaranya merokok, mencukur jenggot, dan bermain musik.3. Betul-betul hafal. 4. Tidak bertentangan dengan perawi yang lebih baik dan lebih dapat dipercaya. 5. Tidak berillat, yakni tidak memiliki sifat yang membuat haditsnya tidak diterima. B. Cara menerima dan menyampaikan riwayat Yang dimaksud dengan “jalan menerima hadits” thuruq at-tahammul adalah cara-cara menerima hadits dan mengambilnya dari Syaikh. Dan yang dimaksud dengan “bentuk penyampaian” sighatul-ada’ adalah lafadh-lafadh yang digunakan oleh ahli hadits dalam meriwayatkan hadits dan menyampaikannya kepada muridnya, misalnya dengan kata sami’tu سَمِعْتُ “Aku telah mendengar”; haddatsani حَدَّثَنِي “telah bercerita kepadaku”; dan yang semisal dengannya. Dalam menerima hadits tidak disyaratkan seorang harus muslim dan baligh. Inilah pendapat yang benar. Namun ketika menyampaikannya, disyaratkan harus Islam dan baligh. Maka diterima riwayat seorang muslim yang baligh dari hadits yang diterimanya sebelum masuk Islam atau sebelum baligh, dengan syarat tamyiz atau dapat membedakan yang haq dan yang bathil sebelum baligh. Sebagian ulama memberikan batasan minimal berumur lima tahun. Namun yang benar adalah cukup batasan tamyiz atau dapat membedakan. Jika ia dapat memahami pembicaraan dan memberikan jawaban dan pendengaran yang benar, itulah tamyiz dan mumayyiz. Jika tidak, maka haditsnya ditolak. Jalan untuk menerima dan menyampaikan hadits ada delapan, yaitu as-sama’ atau mendengar lafadh syaikh; al-qira’ah atau membaca kepada syaikh; al-ijazah, al-munawalah, al-kitabah, al-I’lam, al-washiyyah, dan al-wijadah. Berikut ini masing-masing penjelasannya berikut lafadh-lafadh penyampaian masing-masing • As-Sama’ atau mendengar lafadh syaikh guru. Gambarannya Seorang guru membaca dan murid mendengarkan; baik guru membaca dari hafalannya atau tulisannya, dan baik murid mendengar dan menulis apa yang didengarnya, atau mendengar saja, dan tidak menulis. Menurut jumhur ulama, as-sama’ ini merupakan bagian yang paling tinggi dalam pengambilan hadits. Lafadh-lafadh penyampaian hadits dengan cara ini adalah aku telah mendengar dan telah menceritakan kepadaku. Jika perawinya banyak kami telah mendengar dan telah menceritakan kepada kami. Ini menunjukkan bahwasannya dia mendengar dari sang syaikh bersama yang lain. Adapun lafadh telah berkata kepadaku atau telah menyebutkan kepadaku, lebih tepat untuk mendengarkan dalam mudzakarah pelajaran, bukan untuk mendengarkan hadits. • Al-Qira’ah atau membaca kepada syaikh. Para ahli hadits menyebutnya Al-Ardl Bentuknya Seorang perawi membaca hadits kepada seorang syaikh, dan syaikh mendengarkan bacaannya untuk meneliti, baik perawi yang membaca atau orang lain yang membaca sedang syaikh mendengarkan, dan baik bacaan dari hafalan atau dari buku, atau baik syaikh mengikuti pembaca dari hafalannya atau memegang kitabnya sendiri atau memegang kitab orang lain yang tsiqah. Mereka para ulama berselisih pendapat tentang membaca kepada syaikh; apakah dia setingkat dengan as-sama’, atau lebih rendah darinya? Yang benar adalah lebih rendah dari as-sama’. Ketika menyampaikan hadits atau riwayat yang dibaca si perawi menggunakan lafadh-lafadh aku telah membaca kepada fulan atau telah dibacakan kepadanya dan aku mendengar orang membaca dan ia menyetujuinya. Lafadh as-sama’ berikutnya adalah yang terikat dengan lafadh qira’ah seperti haddatsana qira’atan alaih ia menyampaikan kepada kami melalui bacaan orang kepadanya. Namun yang umum menurut ahli hadits adalah dengan menggunakan lafadh akhbarana saja tanpa tambahan yang lain. • Al-Ijazah Yaitu Seorang Syaikh mengijinkan muridnya meriwayatkan hadits atau riwayat, baik dengan ucapan atau tulisan. Gambarannya Seorang syaikh mengatakan kepada salah seorang muridnya Aku ijinkan kepadamu untuk meriwayatkan dariku demikian. Di antara macam-macam ijazah adalah • Syaikh mengijazahkan sesuatu yang tertentu kepada seorang yang tertentu. Misalnya dia berkata,“Aku ijazahkan kepadamu Shahih Bukhari”. Di antara jenis-jenis ijazah, inilah yang paling tinggi derajatnya. • Syaikh mengijazahkan orang yang tertentu dengan tanpa menentukan apa yang diijazahkannya. Seperti mengatakan,“Aku ijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan semua riwayatku”. • Syaikh mengijazahkan kepada siapa saja tanpa menentukan dengan juga tidak menentukan apa yang diijazahkan, seperti mengatakan,“Aku ijazahkan semua riwayatku kepada semua orang pada jamanku”. • Syaikh mengijazahkan kepada orang yang tidak diketahui atau majhul. Seperti dia mengatakan,“Aku ijazahkan kepada Muhammad bin Khalid Ad-Dimasyqi”; sedangkan di situ terdapat sejumlah orang yang mempunyai nama seperti itu. • Syaikh memberikan ijazah kepada orang yang tidak hadir demi mengikutkan mereka yang hadir dalam majelis. Umpamanya dia berkata,“Aku ijazahkan riwayat ini kepada si fulan dan keturunannya”. Bentuk pertama a dari beberapa bentuk di atas adalah diperbolehkan menurut jumhur ulama, dan ditetapkan sebagai sesuatu yang diamalkan. Dan inilah pendapat yang benar. Sedangkan bentuk-bentuk yang lain, terjadi banyak perselisihan di antara para ulama. Ada yang bathil lagi tidak berguna. Lafadh-lafdh yang dipakai dalam menyampaikan riwayat yang diterima dengan jalur ijazah adalah ajaza li fulan beliau telah memberikan ijazah kepada si fulan, haddatsana ijaazatan, akhbarana ijaazatan, dan anba-ana ijaazatan beliau telah memberitahukan kepada kami secara ijazah. • Al-Munaawalah atau menyerahkan. Al-Munawalah ada dua macam • Al-Munawalah yang disertai dengan ijazah. Ini tingkatannya paling tinggi di antara macam-macam ijazah secara muthlaq. Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya kepada sang murid, lalu mengatakan kepadannya,“Ini riwayatku dari si fulan, maka riwayatkanlah dariku”. Kemudian buku tersebut dibiarkan bersamanya untuk dimiliki atau dipinjamkan untuk disalin. Maka diperbolehkan meriwayatkan dengan seperti ini, dan tingkatannya lebih rendah daripada as-sama’ dan al-qira’ah. • Al-Munawalah yang tidak diiringi ijazah. Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya kepada sang murid dengan hanya mengatakan “Ini adalah riwayatku”. Yang seperti ini tidak boleh diriwayatkan berdasarkan pendapat yang shahih. Lafadh-lafadh yang dipakai dalam menyampaikan hadits atau riwayat yang diterima dengan jalan munawalah ini adalah jika si perawi berkata nawalanii wa ajazanii, atau haddatsanaa munawalatan wa ijazatan, atau akhbarana munawalatan. • Al-Kitabah Yaitu Seorang syaikh menulis sendiri atau dia menyuruh orang lain menulis riwayatnya kepada orang yang hadirs di tempatnya atau yang tidak hadir di situ. Kitabah ada 2 macam • Kitabah yang disertai dengan ijazah, seperti perkataan syaikh,“Aku ijazahkan kepadamu apa yang aku tulis untukmu”, atau yang semisal dengannya. Dan riwayat dengan cara ini adalah shahih karena kedudukannya sama kuat dengan munaawalah yang disertai ijazah. • Kitabah yang tidak disertai dengan ijazah, seperti syaikh menulis sebagian hadits untuk muridnya dan dikirimkan tulisan itu kepadanya, tapi tidak diperbolehkan untuk meriwayatkannya. Di sini terdapat perselisihan hukum meriwayatkannya. Sebagian tidak memperbolehkan, dan sebagian yang lain memperbolehkannya jika diketahui bahwa tulisan tersebut adalah karya syaikh itu sendiri. • Al-I’lam memberitahu Yaitu Seorang syaikh memberitahu seorang muridnya bahwa hadits ini atau kitab ini adalah riwayatnya dari si fulan, dengan tidak disertakan ijin untuk meriwayatkan daripadanya. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum meriwayatkan dengan cara al-I’lam. Sebagian membolehkan dan sebagian yang lain tidak membolehkannya. Ketika menyampaikan riwayat dengan cara ini, si perawi berkata A’lamanii syaikhi guruku telah memberitahu kepadaku. • Al-Washiyyah mewasiati Yaitu Seorang syaikh mewasiatkan di saat mendekati ajalnya atau dalam perjalanan, sebuah kitab yang ia wasiatkan kepada sang perawi. Riwayat yang seorang terima dengan jalan wasiat ini boleh dipakai menurut sebagian ulama, namun yang benar adalah tidak boleh dipakai. Ketika menyampaikan riwayat dengan wasiat ini perawi mengatakan Aushaa ilaya fulaanun bi kitaabin si fulan telah meqasiatkan kepadaku sebuah kitab, atau haddatsanii fulaanun washiyyatan si fulan telah bercerita kepadaku dengan sebuah wasiat. • Al-Wijaadah mendapat Yaitu Seorang perawi mendapat hadits atau kitab dengan tulisan seorang syaikh dan ia mengenal syaikh itu, sedang hadots-haditsnya tidak pernah didengarkan ataupun ditulis oleh si perawi. Wijadah ini termasuk hadits munqathi’, karena si perawi tidak menerima sendiri dari orang yang menulisnya. Dalam menyampaikan hadits atau kitab yang didapati dengan jalan wijadah ini, si perawi berkata,“Wajadtu bi kaththi fulaanin” aku mendapat buku ini dengan tulisan si fulan, atau “qara’tu bi khththi fulaanin” aku telah membaca buku ini dengan tulisan si fulan; kemudian menyebutkan sanad dan matannya. Lihat Pendidikan Selengkapnya
Contohlain hadits yang tidak memenuhi kriteria perawinya semua adil dan dhobith adalah hadits berikut ini, yaitu hadits yang mengandung perawi yang lemah (tidak dhobith) dan majhul (tidak dikenal). Hadits Ali tentang bersedekap di bawah pusar saat sholat dalam Sunan Abi Dawud:

1. Syarat-syarat Perawi dalam Tahammul Hadis Tidak dapat dipungkiri bias mendapatkan hadis atau menerimanya merupakan anugerah yang sangat besar. Disamping perlunya keikhlasan hati dan lurusnya niat untuk membersihkan diri dari tujuan-tujuan yang menyeleweng, yang merupakan adab atau tatakrama seorang thalib al-hadis, dalam menerima hadis harus memenuhi beberapa syarat yang telah ditetapkan oleh ulama ahli hadis atau dikenal dengan istilah ahliyatu altahammul sehingga hadis yang diterima tersebut sah untuk diriwayatkan. Berikut syarat-syarat bagi perawi dalam tahammul hadis 1 Penerima harus dlabit memiliki hafalan yang kuat atau memiliki dokumen yang valid. 2 Berakal sempurna serta sehat secara fisik dan mental Syarat berakal sehat sudah jelas disyaratkan dalambertahammul hadis karena untuk menerima hadis yang merupakan salah satu sumber hukum Islam sangat diperlukan. Oleh karena itu tidak sah riwayatnya seseorang yang menerima hadis tersebut ketika dalam keadaan tidak sehat akalnya. Selain sehat akal, dalam bertahammul juga harus dalam keadaan sehat fisiknya dan juga mentalnya agar orang tersebut mampu memahami dengan baik riwayat hadis yang diterimanya. 3 Tamyiz Syarat pertama perawi dalam tahammul al-hadis adalah tamyiz. Menurut Imam Ahmad, ukuran tamyiz adalah adanya kemampuan menghafal yang didengar dan mengingat yang dihafal. Ada juga yang mengatakan bahwa ukuran tamyiz adalah pemahaman anak pada pembicaraan dan kemampuan menjawab pertanyaan dengan baik dan benar. Seorang yang belum baligh boleh menerima hadis asalkan ia sudah tamyiz. Hal ini didasarkan pada keadaan para sahabat, tabi’in, dan ahli ilmu setelahnya yang menerima hadis walaupun mereka belum baligh seperti Hasan, Husain, Abdullah ibn Zubair, Ibnu Abbas, dan lain-lain. Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan seseorang boleh bertahammul hadis dengan batasan usia. Qodli Iyad menetapkan batas usia boleh bertahammul adalah usia lima tahun, karena pada usia ini seorang anak bias menghafal dan mengingat-ingat sesuatu, termasuk hadis nabi. Abu Abdullah az-Zubairi mengatakan bahwa seorang anak boleh bertahammul jika telah berusia sepuluh tahun, sebab pada usia ini akal mereka telah dianggap sempurna. Sedangkan Yahya ibn Ma’in menetapkan usia lima belas tahun. 2. Syarat Perawi dalam Ada’ al-Hadis Syarat-syarat orang yang diterima dalam meriwayatkan hadis atau dikenal dengan istilah ahliyatul ada’ menurut ulama ahlul hadis adalah 1 Islam Pada waktu periwayatan suatu hadis seorang perawi harus muslim. Menurut ijma’, periwayatan hadis oleh orang kafir dianggap tidak sah. Karena terhadap riwayat orang muslim yang fasik saja dimauqufkan, apalagi hadis yang diriwayatkan oleh orang kafir. Walaupun dalam tahammul hadis orang kafir diperbolehkan, tapi dalam meriwayatkan hadisia harus sudah masuk Islam. 2 Baligh Yang dimaksud baligh adalah perawi cukup usia ketika ia meriwayatkan hadis. Baik baligh karena sudahberusia lima belas tahun atau baligh karena sudah keluar mani. Batasan baligh ini bias diketahui dalam kitab-kitab fiqih. 3 Adalah adil Adl merupakan suatu sifat yang melekat dalam jiwa seorang perawi, yang mendorong rawi untuk bertaqwa dan memelihara harga diri muru’ah sehingga menjauhi segala dosa, baik dosa besar maupun dosa kecil. Sifat adalahnya seorang rawi berarti sifat adlnya di dalam riwayat. Dalam ilmu hadis sifat adalah ini berarti orang Islam yang sudah mukallaf yang terhindar dari perbuatan-perbuatan yang menyebabkan kefasikan dan jatuhnya harga syarat yang ketiga ini sebenarnya sudah mencakup dua syarat sebelumnya yaitu Islam dan baligh. Oleh karena itu sifat adalah ini mengecualikan orang kafir, fasiq, orang gila, dan orang yang tak dikenal 4 Dlabit Dlabit ialah ingatan. seseorang yang meriwayatkan hadis harus mengingat hadis yang ia sampaikan tersebut. Saat ia mendengar hadis dan memahami apa yang didengarnya, ia harus hafal sejak ia menerima hadis itu hingga ia meriwayatkannya. Dabit oleh ulama ahli hadis dibagi menjadi dua yaitu a Dlabtu al-Shadri, yaitu dengan menetapkan atau menghafal apa yang ia dengar didalam dadanya, sekiranya ia mampu untuk menyampaikan hafalan tersebut kapanpun ia kehendaki. b Dlabtu al-Kitab, yaitu memelihara, mempunyai sebuah kitab catatan hadis yang ia dengar, kitab tersebut dijaga dan ditasheh sampai ia meriwayatkan hadis sesuai dengan tulisan yang terdapat dalam kitab tersebut. Sedangkan untuk hadisnya sendiri itu haruslah Tsiqoh, maksudnya adalah hadis yang diriwayatkan tidak berlawanan dengan hadis yang lebih kuat atau dengan Qur’an. Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang syarat-syarat perawi dalam tahammul wal ada’ Hadis. Sumber Modul 3 Konsep Dasar Ulumul Hadis PPG dalam Jabatan Tahun 2022 Kementerian Agama Republik Indonesia JAKARTA 2022. Kunjungilah semoga bermanfaat. Aamiin. Source

4 Tidak bertentangan dengan perawi yang lebih baik dan lebih dapat dipercaya. 5. Tidak berillat, yakni tidak memiliki sifat yang membuat haditsnya tidak diterima. C. Cara Menerima Dan Menyampaikan Riwayat. Yang dimaksud dengan "jalan menerima hadits" (thuruq at-tahammul) adalah cara-cara.
loading...Para ulama ahli hadis membagi Hadis berdasarkan beberapa klasifikasi. Foto ilustrasi/dok pecihitam Umat Islam pasti tak lepas dari yang namanya Hadis الحديث atau Al-Hadits. Sebagaimana diketahui, sumber hukum Islam ada 4 yaitu Al-Qur'an, Hadis sunnah Nabi, Ijma kesepakatan ulama, dan Qiyas. Hadis secara harfiah berarti berbicara, perkataan atau percakapan. Istilah hadis berarti melaporkan, mencatat sebuah pernyataan dan tingkah laku dari Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, sebagai manusia yang diutus untuk diikuti dan diteladani seluruh istilah ulama ahli hadis, Hadis adalah apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapannya, sifat jasmani atau sifat akhlak, perjalanan setelah diangkat sebagai Nabi dan terkadang sebelumnya. Sehingga arti hadis di sini semakna dengan ulama Ahli Hadis membagi hadis berdasarkan beberapa klasifikasi. Berikut penjelasan lengkapnyaBerdasarkan Tingkat Kualitas Keaslian HadisTingkatan hadis pada klasifikasi ini terbagi menjadi 4 tingkat yakni Shahih, Hasan, Dha'if dan Maudlu'.1. Hadis SahihYaitu tingkatan tertinggi penerimaan pada suatu hadis. Hadis shahih memenuhi persyaratan sebagai berikut- Sanadnya bersambung- Diriwayatkan oleh para penutur/perawi yang adil- Memiliki sifat istiqomah, berakhlak baik, tidak fasik, terjaga muruahkehormatan-nya, dan kuat ingatannya. - Matannya tidak mengandung kejanggalan/bertentangan syadz serta tidak ada sebab tersembunyi atau tidak nyata yang mencacatkan hadis ’illat.Mahmud Thahan dalam Taisir Musthalahil Hadits menjelaskan hadits shahih adalahما اتصل سنده بنقل العدل الظابط عن مثله إلى منتهاه من غير شذوذ ولا علة"Setiap hadits yang rangkaian sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabit dari awal sampai akhir sanad, tidak terdapat di dalamnya Syadz dan 'illah."2. Hadis HasanHadis Hasan dan Sahih hampir sama. Namun, perbedaannya ada sedikit kelemahan pada perawinya misalnya diriwayatkan oleh perawi yang adil namun tidak sempurna ingatannya. Namun matannya tidak syadz atau cacat. Perbedaan dari kedua jenis hadis ini adalah kualitas hafalan perawi hadits hasan tidak sekuat hadits shahih. Ulama hadits sebenarnya berbeda-beda dalam mendefenisikan hadits hasan. Menurut Mahmud Thahhan, defenisi yang mendekati kebenaran adalah definisi yang dibuat Ibnu Hajar. Menurut beliau hadits Hasan ialahهو ما اتصل سنده بنقل العدل الذي خف ضبطه عن مثله إلى منتهاه من غير شذوذ ولا علة"Hadits yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi adil, namun kualitas hafalannya tidak seperti hadits shahih, tidak terdapat syadz dan illah."3. Hadis Dhaif lemahHadits dhaif ialah hadits yang tidak memenuhi persyaratan hadits shahih dan hadits hasan. Yaitu hadis yang sanadnya tidak bersambung dapat berupa hadis mauquf, maqthu', mursal, mu’allaq, mudallas, munqathi’ atau mu’dlal, atau diriwayatkan oleh orang yang tidak adil atau tidak kuat ingatannya, atau mengandung kejanggalan atau Mandzumah Bayquni disebutkanوكل ما عن رتبة الحسن قصر فهو الضعيف وهو اقسام كثر"Setiap hadits yang kualitasnya lebih rendah dari hadits hasan adalah dhaif dan hadits dhaif memiliki banyak ragam."4. Hadis Maudhu'Hadis Maudhu adalah Hadis dusta, dibuat-buat atau palsu. Bila hadis dicurigai palsu atau buatan karena dalam rantai sanadnya dijumpai penutur yang dikenal sebagai Ujung SanadKlasifikasi ini dibagi menjadi 3 golongan yakni Hadis Marfu terangkat, Mauquf terhenti dan Maqthu’terputus.1. Hadis Marfu' Yaitu hadis yang sanadnya berujung langsung pada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. Bacajuga: Mengenal Istilah I'tibar dalam Penelitian Hadis Nabi. Metode penerimaan dan periwayatan hadis ada delapan macam, yaitu: 1. As-Sima' min Lafzhi Asy-Syaikh (السِّمَاعُ مِنْ لَفْظِ الشَّيْخ) Maksud dari metode ini adalah seorang murid mendengar langsung dari gurunya baik dengan didiktekan ( imla) atau
- Hadits tentang qurban bisa ditemukan dalam riwayat sejumlah ahli perawi hadis. Hadits-hadits tentang qurban itu dimuat dalam karya-karya Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Ahmad, Ibnu Majah, Imam At-Tirmidzi, Imam Abu Dawud, dan lain sebagainya. Sejumlah hadits tentang qurban tersebut memuat dalil perintah berkurban di Idul Adha, syarat-syarat hewan kurban, hingga hikmah berkurban. Tidak lama lagi, waktu berkurban akan tiba yakni pada saat Idul Adha 10 Dzulhijah dan hari tasyrik 11-13 Dzulhijah tahun 1444 Hijriah, atau pada akhir Juni 2023. PP Muhammadiyah yang memakai metode hisab hakiki wujudul hilal telah mengumumkan bahwa Hari Raya Idul Adha 2023 1444 H akan jatuh pada tanggal 28 Juni 2023. Sementara itu, Kementerian Agama RI akan menggelar Sidang Isbat Idul Adha 2023 atau sidang penetapan hari raya kurban, pada Minggu, 18 Juni 2023 mendatang. Sidang Isbat Idul Adha 2023 itu akan didahului oleh rukyatul hilal untuk menentukan awal bulan Dzulhijah 1444 H. Hukum Berkurban dan Hikmah Qurban Hukum berkurban adalah sunah muakadah atau sangat dianjurkan dalam Islam. Bahkan, Nabi Muhammad SAW selalu melaksanakan qurban sejak ibadah ini disyariatkan hingga beliau wafat. Adapun hikmah berkurban adalah sebagai manifestasi ketakwaan seorang hamba, serta sarana untuk ber-taqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman dalam Al-Quran, Surah Al-Kautsar ayat 1 – 3, yang terjemahannya sebagai berikut“Sesungguhnya Kami telah memberimu [Nabi Muhammad] nikmat yang banyak. Maka, laksanakanlah salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah! Sesungguhnya orang yang membencimu, dialah yang terputus [dari rahmat Allah],” QS. Al-Kautsar [108] 1-3.Perintah berkurban pada Idul Adha berhubungan dengan peristiwa ketika Nabi Ibrahim AS menerima perintah dari Allah SWT untuk menyembelih putranya, Ismail Nabi Ibrahim, perintah yang datang melalui beberapa kali mimpi itu sesungguhnya amat berat. Nabi Ibrahim lantas membicarakan perintah itu kepada Ismail. Sang anak lantas tanpa ragu merelakan Nabi Ibrahim melaksanakan perintah Allah SWT keikhlasan dan kepatuhan pada Allah SWT, keduanya lantas berketetapan untuk menjalankan perintah nan berat tadi. Namun, tanpa disangka oleh keduanya, keajaiban terjadi. Ismail sama sekali tidak terluka. Allah SWT ternyata tidak menghendaki penyembelihan Ismail terjadi, dan perintah yang semula datang hanya untuk menguji kesabaran dua hamba kekasihNYA itu. Sebaliknya, Allah SWT menganugerahkan ganti berupa kambing hewan sembelihan untuk dijadikan kurban Nabi Ibrahim. Peristiwa di atas dikisahkan dalam Al-Quran, Surah As-Saffat ayat 102-107 dengan arti terjemahan sebagai berikut“Ketika anak itu sampai pada [umur] ia sanggup bekerja bersamanya, ia [Ibrahim] berkata, 'Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu?' Dia [Ismail] menjawab, 'Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan [Allah] kepadamu! Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar.'Ketika keduanya telah berserah diri dan dia [Ibrahim] meletakkan pelipis anaknya di atas gundukan [untuk melaksanakan perintah Allah], Kami memanggil dia, 'Wahai Ibrahim, sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu.' Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat kebaikan. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Kami menebusnya dengan seekor [hewan] sembelihan yang besar,” QS. As-Saffat [37] 102-107.Hadits-Hadits tentang Qurban Ada banyak hadis tentang qurban, baik yang menganjurkan berkurban maupun memberi keterangan mengenai syarat pelaksanaan hingga tujuan ibadah kurban. Berikut ini sejumlah hadits tentang qurban dalam terjemahan bahasa Indonesia1. Dalam riwayat dari Jabir Ra. dikatakan sebagai berikut, “Nabi memerintahkan kepada kami berkurban seekor unta atau sapi untuk setiap 7 orang dari kami,” HR. Bukhari dan Muslim.2. “Barang siapa yang memiliki kelapangan [harta], sedangkan ia tidak berkurban, janganlah dekat-dekat tempat salat kami," HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan Hakim.3. “Ada 4 macam hewan yang tidak sah dijadikan hewan kurban, “[1] yang [matanya] jelas-jelas buta [picek], [2] yang [fisiknya] jelas-jelas dalam keadaan sakit, [3] yang [kakinya] jelas-jelas pincang, dan [4] yang [badannya] kurus lagi tak berlemak,” HR. Tirmidzi dan Abu Daud.4. “Barang siapa yang menjual kulit hewan qurbannya maka kurbannya tidak diterima,” HR. Hakim dan Baihaqi. Hadis ini dishahihkan Albani.5. Dalam riwayat Zaid bin Arqam, para sahabat bertanya kepada Nabi SAW "Wahai Rasulullah SAW, apakah kurban itu? Rasulullah SAW menjawab 'Kurban adalah sunnahnya bapak kalian, Nabi Ibrahim',” HR. Ahmad dan Ibnu Majah.6. Nabi Muhammad SAW bersabda “Tidak ada suatu amalan yang dikerjakan anak Adam manusia pada hari raya Idul Adha yang lebih dicintai oleh Allah dari menyembelih hewan. Karena hewan itu akan datang pada hari kiamat dengan tanduk-tanduknya, bulu-bulunya, dan kuku-kuku kakinya. Darah hewan itu akan sampai di sisi Allah sebelum menetes ke tanah. Karenanya, lapangkanlah jiwamu untuk melakukannya,” HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah.7. Diriwayatkan dari jalur Anas bin Malik, bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda, “Siapa yang menyembelih [hewan kurban] sebelum salat Iduladha, maka sesungguhnya ia menyembelih untuk dirinya sendiri dan siapa yang menyembelih sesudah salat Iduladha, maka sempurnalah ibadahnya dan [ia] mengikuti sunah kaum muslim,” Mutafaq alaih. - Pendidikan Kontributor Syamsul Dwi MaarifPenulis Syamsul Dwi MaarifEditor Addi M Idhom
Syaratsyarat yang harus terpenuhi seseorang ketika menyampaikan riwayat hadits sehingga periwatannya dinyatakan sah ialah orang itu harus : 1. Beragama Islam. 2. Baligh. 3. Berakal. 4. Tidak fasiq. 5. Tidak terdapat tingkah laku yang mengurangi atau menghilangkan kehormatan (muru'ah). 6. Mampu menyampaikan hadits yang telah dihafalnya. 7. 1. Syarat-syarat Perawi dalam Tahammul Hadis Tidak dapat dipungkiri bias mendapatkan hadis atau menerimanya merupakan anugerah yang sangat besar. Disamping perlunya keikhlasan hati dan lurusnya niat untuk membersihkan diri dari tujuan-tujuan yang menyeleweng, yang merupakan adab atau tatakrama seorang thalib al-hadis, dalam menerima hadis harus memenuhi beberapa syarat yang telah ditetapkan oleh ulama ahli hadis atau dikenal dengan istilah ahliyatu altahammul sehingga hadis yang diterima tersebut sah untuk diriwayatkan. Berikut syarat-syarat bagi perawi dalam tahammul hadis 1 Penerima harus dlabit memiliki hafalan yang kuat atau memiliki dokumen yang valid. 2 Berakal sempurna serta sehat secara fisik dan mental Syarat berakal sehat sudah jelas disyaratkan dalambertahammul hadis karena untuk menerima hadis yang merupakan salah satu sumber hukum Islam sangat diperlukan. Oleh karena itu tidak sah riwayatnya seseorang yang menerima hadis tersebut ketika dalam keadaan tidak sehat akalnya. Selain sehat akal, dalam bertahammul juga harus dalam keadaan sehat fisiknya dan juga mentalnya agar orang tersebut mampu memahami dengan baik riwayat hadis yang diterimanya. 3 Tamyiz Syarat pertama perawi dalam tahammul al-hadis adalah tamyiz. Menurut Imam Ahmad, ukuran tamyiz adalah adanya kemampuan menghafal yang didengar dan mengingat yang dihafal. Ada juga yang mengatakan bahwa ukuran tamyiz adalah pemahaman anak pada pembicaraan dan kemampuan menjawab pertanyaan dengan baik dan benar. Seorang yang belum baligh boleh menerima hadis asalkan ia sudah tamyiz. Hal ini didasarkan pada keadaan para sahabat, tabi’in, dan ahli ilmu setelahnya yang menerima hadis walaupun mereka belum baligh seperti Hasan, Husain, Abdullah ibn Zubair, Ibnu Abbas, dan lain-lain. Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan seseorang boleh bertahammul hadis dengan batasan usia. Qodli Iyad menetapkan batas usia boleh bertahammul adalah usia lima tahun, karena pada usia ini seorang anak bias menghafal dan mengingat-ingat sesuatu, termasuk hadis nabi. Abu Abdullah az-Zubairi mengatakan bahwa seorang anak boleh bertahammul jika telah berusia sepuluh tahun, sebab pada usia ini akal mereka telah dianggap sempurna. Sedangkan Yahya ibn Ma’in menetapkan usia lima belas tahun. 2. Syarat Perawi dalam Ada’ al-Hadis Syarat-syarat orang yang diterima dalam meriwayatkan hadis atau dikenal dengan istilah ahliyatul ada’ menurut ulama ahlul hadis adalah 1 Islam Pada waktu periwayatan suatu hadis seorang perawi harus muslim. Menurut ijma’, periwayatan hadis oleh orang kafir dianggap tidak sah. Karena terhadap riwayat orang muslim yang fasik saja dimauqufkan, apalagi hadis yang diriwayatkan oleh orang kafir. Walaupun dalam tahammul hadis orang kafir diperbolehkan, tapi dalam meriwayatkan hadisia harus sudah masuk Islam. 2 Baligh Yang dimaksud baligh adalah perawi cukup usia ketika ia meriwayatkan hadis. Baik baligh karena sudahberusia lima belas tahun atau baligh karena sudah keluar mani. Batasan baligh ini bias diketahui dalam kitab-kitab fiqih. 3 Adalah adil Adl merupakan suatu sifat yang melekat dalam jiwa seorang perawi, yang mendorong rawi untuk bertaqwa dan memelihara harga diri muru’ah sehingga menjauhi segala dosa, baik dosa besar maupun dosa kecil. Sifat adalahnya seorang rawi berarti sifat adlnya di dalam riwayat. Dalam ilmu hadis sifat adalah ini berarti orang Islam yang sudah mukallaf yang terhindar dari perbuatan-perbuatan yang menyebabkan kefasikan dan jatuhnya harga syarat yang ketiga ini sebenarnya sudah mencakup dua syarat sebelumnya yaitu Islam dan baligh. Oleh karena itu sifat adalah ini mengecualikan orang kafir, fasiq, orang gila, dan orang yang tak dikenal 4 Dlabit Dlabit ialah ingatan. seseorang yang meriwayatkan hadis harus mengingat hadis yang ia sampaikan tersebut. Saat ia mendengar hadis dan memahami apa yang didengarnya, ia harus hafal sejak ia menerima hadis itu hingga ia meriwayatkannya. Dabit oleh ulama ahli hadis dibagi menjadi dua yaitu a Dlabtu al-Shadri, yaitu dengan menetapkan atau menghafal apa yang ia dengar didalam dadanya, sekiranya ia mampu untuk menyampaikan hafalan tersebut kapanpun ia kehendaki. b Dlabtu al-Kitab, yaitu memelihara, mempunyai sebuah kitab catatan hadis yang ia dengar, kitab tersebut dijaga dan ditasheh sampai ia meriwayatkan hadis sesuai dengan tulisan yang terdapat dalam kitab tersebut. Sedangkan untuk hadisnya sendiri itu haruslah Tsiqoh, maksudnya adalah hadis yang diriwayatkan tidak berlawanan dengan hadis yang lebih kuat atau dengan Qur’an. Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang syarat-syarat perawi dalam tahammul wal ada’ Hadis. Sumber Modul 3 Konsep Dasar Ulumul Hadis PPG dalam Jabatan Tahun 2019 Kementerian Agama Republik Indonesia JAKARTA 2019. Kunjungilah selalu semoga bermanfaat. Aamiin.
berikut ini yang tidak termasuk syarat perawi hadits adalah
Keempatsyarat tersebut adalah: 1. Beragama Islam. Hal pertama yang harus dipenuhi oleh perawi yang 'âdil adalah harus beragama Islam. Syarat ini dibutuhkan periwayat ketika menyampaikan riwayat sebuah hadis bukan ketika menerima sebuah hadis.[8] Para ulama berbeda pendapat mengenai dalil yang digunakan sebagai dasar alasan mengapa seseorang
Jakarta - Dalam syariat Islam, penyembelihan hewan kurban memiliki aturan-aturan tertentu yang wajib dipatuhi. Termasuk waktu penyembelihan hewan kurban. Berikut penjelasan kapan tepatnya batas waktu penyembelihan hewan kurban berdasarkan dari buku Modul Fikih Ibadah susunan Rosidin, waktu penyembelihan kurban yang paling baik adalah hari pertama sesudah sholat Idul Adha hingga matahari terbenam di akhir hari Tasyriq 11, 12, 13 Dzulhijjah. Hal ini didasari oleh hadits riwayat al-Barra' ibn 'Azib RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda"Sesungguhnya permulaan sesuatu yang kami lakukan pada hari ini Idul Adha adalah sholat kemudian pulang; setelah itu menyembelih kurban. Barangsiapa melakukannya, maka dia telah mendapatkan kesunahan; dan barangsiapa menyembelih kurban sebelum itu, maka sembelihannya itu hanyalah daging yang dihidangkan untuk keluarganya dan sama sekali bukan termasuk binatang kurban." HR Bukhari. Adapun dalam riwayat lainnya Jubair ibn Muth'im RA menyebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda "... dalam seluruh hari Tasyriq merupakan waktu diperbolehkan menyembelih hewan kurban" HR Ibnu Hibban.Berdasarkan hadits tersebut, dapat diketahui bahwa menyembelih hewan kurban mendahului waktunya bukan berarti buruk atau terlarang. Namun, perlu dipahami jika daging yang disembelih bukan pada waktu sesuai yang disyariatkan adalah sedekah biasa dan pahala yang didapat adalah pahala bersedekah, bukan pahala karena itu, batas awal penyembelihan hewan kurban adalah pada hari pertama Idul Adha tepatnya setelah melaksanakan sholat Idul Adha. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, "Barangsiapa yang menyembelih sebelum sholat, maka sesungguhnya ia menyembelih untuk dirinya. Dan barangsiapa yang menyembelih setelah sholat dan khotbah, sesungguhnya ia telah sempurnakan dan ia mendapat sunnah umat Islam." HR Bukhari dan Muslim.Adapun bagi yang sudah terlanjur melaksanakan kurban sebelum sholat Id, dikutip dari buku Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid Jilid 1 oleh Ibnu Rusyd, disebutkan dalam salah satu versi riwayat dalam hadits Abu Burdah bin Nayyar, "Sesungguhnya ia pernah menyembelih kurban sebelum sholat Idul Adha, lalu Rasulullah SAW menyuruhnya untuk mengulangi."Ulama-ulama yang menganggap hadits tersebut sebagai ketentuan, termasuk Imam Muslim, mengatakan bahwa tidak boleh menyembelih kurban mendahului sang imam. Oleh karena itu, umat muslim perlu hati-hati sebelum benar-benar melaksanakan penyembelihan yang perlu diketahui adalah makruh hukumnya menyembelih hewan kurban pada malam hari. Meskipun tetap sah, dikhawatirkan akan membahayakan jika melakukan kesalahan dalam penyembelihan. Dikhawatirkan juga jumlah orang-orang fakir yang datang ke tempat penyembelihan lebih sedikit jika dibandingkan penyembelihan dilakukan pada waktu siang apabila masih dilakukan dalam rentang waktu 11-13 Dzulhijjah, penyembelihan kurban tersebut akan terhitung sah dengan pahala kurban. Namun, apabila penyembelihannya setelah matahari terbenam pada tanggal 13 Dzulhijjah, hukumnya tidak sah sebagai kurban. Jadi, batas akhir penyembelihan hewan kurban adalah hari terakhir pada hari dalam buku Cara Berkurban karya Abdul Muta"al Al-Jabry, Ali RA, Imam Syafi'i, Atha', dan Al Hasan berdasarkan hadits Jubair bin Muth'im mengatakan bahwa Rasulullah bersabda "Semua hari Tasyriq adalah waktu penyembelihan kurban," dan dalam hadits lainnya disebutkan, "Seluruh hari Mina adalah waktu penyembelihan." HR Ahmad dan Daruquthni, juga Ibnu Hibban dan Baihaqi.Sebagaimana dengan hari raya lainnya yakni Idul Fitri, penyembelihan kurban yang termasuk ke dalam satu rangkaian ibadah juga tidak dapat dilaksanakan kecuali pada hari atau waktu yang telah ditentukan. Sebab, kurban adalah esensi utama dari hari raya Idul Adha. Pendapat ini disepakati oleh Sa'id bin Jubair dari Jabir bin penjelasan lengkap terkait kapan tepatnya batas awal dan akhir dari waktu penyembelihan hewan kurban sesuai dengan syariat Islam dan bersumber dari hadits nabi. Jangan sampai lupa, ya! Simak Video "Jelang Idul Adha, Penjualan Hewan Kurban di Bandung Meningkat" [GambasVideo 20detik] dvs/dvs
Syaratsyarat Rawi a. Adil. Adil dalam konteks studi hadis berbeda dengan adil dalam konteks persaksian atau hukum. Menurut muhaddisin yang dimaksud dengan adil adalah istiqamatuddin dan al-muru'ah. Istiqmatuddin adalah melaksanakan kewajiban-kewajiban dan menjauhi perbuatan-perbuatan haram yang mengakibatkan pelakunya fasik.
Pada dasarnya mayoritas ulama merujuk pada sifat taqwa dan menjaga murû’ah ketika memberikan syarat siapa orang yang pantas disebut sebagai orang yang âdil. Hanya saja mungkin beberapa ulama berbeda dalam cara menyampaikan maksud dan tujuannya. Ini terlihat ketika banyak ulama memberikan syarat yang berbeda dalam menentukan seseorang pantas diberi predikat sebagai orang yang âdil dalam hal periwayatan hadis. Seperti halnya al-Hâkim memberikan tiga syarat seseorang dapat dikatakan âdil yaitu harus beragama Islam, tidak berbuat bid’ah, dan tidak berbuat maksiat.[1] Sedangkan Ahmad Muhammad Syakir memberikan enam syarat yang harus dimiliki seseorang yang pantas dikatakan sebagai orang yang âdil yaitu beragama Islam, sudah baligh, berakal, memelihara murû’ah, tidak berbuat fâsiq dan dapat dipercaya beritanya.[2] Nuruddin Itr Memberikan 5 syarat yang wajib dipenuhi seseorang yang mempunyai sifat âdil yaitu beragama Islam, sudah baligh, berakal sehat, bertakwa pada Allah SWT, dan berperilaku yang sejalan dengan murû’ah serta meninggalkan hal-hal yang mungkin merusaknya, yakni meninggalkan segala sesuatu yang bisa menjatuhkan harga diri manusia menurut tradisi masyarakat yang benar seperti mencaci-maki atau menghina orang lain.[3] Sedangkan al-Jurjani memberikan empat syarat saja pada seseorang yang bisa disebut sebagai orang yang âdil yaitu harus memelihara murû’ah, tidak berbuat dosa besar, menjauhi dosa kecil, dan biasanya benar.[4] Bahkan Hasby al-Shiddiqie hanya memberikan dua syarat saja untuk seseorang yang bisa dikatakan âdil yaitu berlaku taqwa dan memelihara âdil.[5] Perbedaan-perbedaan mengenai syarat ini bahkan dijelaskan oleh Syuhudi Ismail dalam bentuk tabel yang lebih memudahkan pembaca untuk memahaminya. Syuhudi Ismail mengumpulkan lima belas pendapat berbeda dari lima belas orang ulama tentang syarat-syarat seseorang dapat dikatakan âdil. Kesimpulan yang didapat oleh beliau adalah tidak ditemukannya kesamaan secara utuh di antara lima belas pendapat tersebut. Dalam penjelasannya beliau mengatakan bahwa hanya Nuruddin Itr yang menyebutkan syarat terbanyak yaitu tujuh syarat. Sedangkan al-Hâkim merupakan satu-satunya ulama yang memberikan syarat paling sedikit yakni tiga butir. Sedangkan rata-rata ulama hanya menyebutkan kurang dari tujuh syarat dan rata-rata pada umumnya ulama-ulama hanya menyebutkan empat sampai lima syarat saja yang diajukan.[6] Bisa dimengerti perbedaan-perbedaan itu dilandasi karena berbeda zaman dan keadaan kondisi umat pada saat itu. Sebagai contoh ketika para sahabat menerima hadis dari sahabat lain maka syarat yang diajukan mungkin tidak akan sama seperti seorang tabiin yang menerima riwayat dari tabiin lain. Syarat-syarat yang diajukan bisa longgar bisa juga sempit tergantung dari kebijaksanaan para ulama dalam menentukannya. Bahkan karena sikap hati-hatinya para ulama merinci kembali syarat yang diajukan oleh ulama sebelumnya. Seperti halnya âdil dan dhâbith menjadi hal yang berbeda pada zaman sekarang. Dilihat dari definisi serta syarat yang diajukan oleh para ulama, maka mayoritas ulama merujuk pada empat syarat umum yang harus dimiliki oleh rawi yang âdil. Keempat syarat tersebut adalah harus beragama Islam, orang yang mukalaf yakni sudah baligh dan berakal sehat, melaksanakan ketentuan agama dan memelihara murû’ah. [7] Agar lebih jelas penulis akan merinci kembali empat syarat umum yang harus dimiliki oleh seorang perawi yang âdil berikut dengan penjelasannya. Keempat syarat tersebut adalah Hal pertama yang harus dipenuhi oleh perawi yang âdil adalah harus beragama Islam. Syarat ini dibutuhkan periwayat ketika menyampaikan riwayat sebuah hadis bukan ketika menerima sebuah hadis.[8] Para ulama berbeda pendapat mengenai dalil yang digunakan sebagai dasar alasan mengapa seseorang yang ingin meriwayatkan hadis harus beragama Islam. Namun, sebagian ulama berlandaskan pada al-Hujurat ayat ke enam. يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِن جَآءَكُمۡ فَاسِقُۢ بِنَبَإٖ فَتَبَيَّنُوٓاْ أَن تُصِيبُواْ قَوۡمَۢا بِجَهَٰلَةٖ فَتُصۡبِحُواْ عَلَىٰ مَا فَعَلۡتُمۡ نَٰدِمِينَ ٦ “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fâsiq membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”[9] Ayat di atas bermaksud memerintahkan kita untuk menyelidiki terlebih dahulu berita yang dibawa oleh orang fâsiq. Dengan menunjuk ayat tersebut, kebanyakan ulama berpendapat, orang fâsiq saja tidak dapat diterima periwayatan hadisnya apalagi, apalagi orang kafir.[10] Berbeda dengan ulama di atas, ulama lain menjadikan al-Baqarah ayat 282 sebagai dasar acuan menjadikan Islam sebagai syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang âdil. مِمَّن تَرۡضَوۡنَ مِنَ ٱلشُّهَدَآءِ ”saksi-saksi yang kamu ridhai.” Kata ridha dalam ayat ini, tidak dapat diwujudkan kecuali dengan agama Islam, karena orang kafir identik dengan khianat. Dan Islam tidak dapat menerima sifat khianat, walaupun orang kafir tersebut memiliki sifat jujur dan amanah.[11] Bahkan sebagian ulama memakai argumen aksioma al-Badihiy. Yaitu, mereka menyatakan bahwa hadis itu berkenaan dengan sumber agama Islam. Non muslim tidak dapat diterima beritanya tentang ajaran Islam. Hanya yang beragama Islamlah yang dapat diterima beritanya berkenaan dengan ajaran Islam.[12] Maka, menurut Syuhudi Ismail argumen-argumen yang dipakai sebagai dasar menjadikan Islam sebagai syarat tidaklah berasal dari dalil naqli yang sharih, tetapi berasal dari pemahaman ayat dan dalil logika. Walaupun argumen-argumen tersebut berbeda-beda, tetapi semua argumen itu saling memperkuat.[13] Mukallaf adalah perpaduan antara baligh dan berakal sehat. Dengan kata lain, anak kecil dan orang gila tidak dapat diterima periwayatan hadisnya karena mereka tidak dapat dimintai pertanggungjawaban. Seorang anak kecil yang belum baligh kadang kala sengaja berbuat bohong atau sembarangan, sedangkan orang gila bahkan lebih dari itu, karena pada dasarnya ia sama sekali tidak memiliki faktor ke dhâbith an seperti itu.[14] Argumen yang mendasari unsur berstatus mukalaf ini tidak ada yang berupa dalil naqli yang sharih, dalam arti khusus untuk syarat periwayatan hadis. Ulama dalam hal ini menggunakan dalil naqli yang sifatnya umum.[15] Sebagaimana dalam hadis dikatakan “terangkat pena dari tiga orang dari orang gila sampai sembuh, dari orang tidur sampai terbangun dan dari anak kecil sampai mimpi basah”[16] Terlepas dari dalil di atas, dalam hal ini dapat dinyatakan pula bahwa argumen yang digunakan sebagai dasar penetapan mukalaf menjadi salah satu syarat adalah argumen aksioma juga.[17] Namun, syarat ini hanya harus dipenuhi oleh orang yang ingin menyampaikan riwayat hadis saja. Untuk kegiatan penerimaan riwayat hadis dapat saja masih belum mukalaf, asalkan dia telah mumayyiz dengan kata lain dapat memahami maksud pembicaraan dan dapat membedakan antara sesuatu dan sesuatu yang lain. Jadi, bisa dikatakan jika seorang anak kecil menerima riwayat hadis, kemudian setelah mukalaf riwayat tersebut disampaikan kepada orang lain, maka penyampaian riwayat hadisnya telah memenuhi salah satu kriteria ke shaẖîẖ an sanad seseorang.[18] 3. Melaksanakan ketentuan agama Para ulama kebanyakan mengambil surat al-Hujurat ayat enam sebagai dasar penetapan melaksanakan ketentuan agama sebagai salah satu syarat. Ayat tersebut berbunyi “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fâsiq membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”[19] Dengan jelas ayat ini memerintahkan kita untuk meneliti kebenaran berita yang berasal dari orang fâsiq. Mayoritas menggunakan ayat ini sebagai dalil bahwa riwayat hadis yang diriwayatkan oleh orang fâsiq harus ditolak.[20] Disebutkan bahwa apabila ayat di atas dihubungkan dengan sebab turunnya Alqur’an maka kata fâsiq dalam ayat tersebut berarti orang yang berkata bohong.[21] Menurut Zamakhsyari sendiri arti asal dari kata fâsiq ialah keluar dari jalan yang lurus.[22] Namun, menurut sebagian ulama kata fâsiq dalam ayat tersebut berarti pendusta dan sebagian lain mengartikannya dengan orang yang dikenal berbuat dosa.[23] Dalam menerapkan hukum yang diambil dari Alqur’an ulama menganut suatu kaidah hukum yang disebut al-ibrah bi umum al-lafzh la bi khushush al-sabab. Kaidah mempunyai pengertian bahwa hukum yang diambil didasarkan pada pengertian umum redaksi ayat bukan didasarkan kejadian khusus yang melatar belakangi turunnya ayat tersebut.[24] Apabila kaidah ini diterapkan pada ayat ini, maka ayat ini tidak hanya berlaku pada Walid bin Uqbah saja, yaitu orang yang telah membuat laporan palsu kepada Nabi, namun berlaku kepada masyarakat umum yang berbuat demikian.[25] Raghib al-Asfahani W. 502 H mengatakan bahwa kata fâsiq dipakai untuk menyebut perbuatan dosa baik kecil ataupun besar, sedikit ataupun banyak. Tetapi yang lebih masyhur kata fâsiq disebutkan untuk menyebut perbuatan dosa yang banyak dan terbanyak. Dengan kata lain, seseorang bisa dikatakan fâsiq karena orang itu pada awalnya menaati dan melaksanakan hukum-hukum syariat Islam dan mengakui kebenarannya, tetapi di sisi lain dia merusakkan sebagian atau bahkan seluruh hukum tersebut. Maka, orang kafir bisa dikatakan orang fâsiq karena telah merusak hukum yang dibenarkan oleh akal dan fitrah manusia yaitu Islam.[26] Beberapa ulama tafsir menjelaskan bahwa arti asal kata fisq adalah keluar dari sesuatu. Sedangkan, arti menurut syariat adalah keluar dari ketaatan kepada Allah SWT. Bentuknya bisa berupa kekufuran ataupun perbuatan maksiat lainnya.[27] Bisa dikatakan bahwa orang yang tidak melaksanakan ketentuan-ketentuan agama Allah SWT tidak akan merasa berat untuk membuat berita bohong, baik berita umum maupun riwayat hadis yang khusus dan sakral. Karenanya orang tersebut tidak bisa dipercaya periwayatan hadisnya.[28] Sebagian ulama menjadikan salah satu hadis Nabi sebagai dasar menjadikan menjaga murû’ah sebagai syarat. Hadis yang dimaksud adalah حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ رِبْعِىِّ بْنِ حِرَاشٍ عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَمْرٍو أَبِى مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الأُولَى إِذَا لَمْ تَسْتَحِى فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ “Diriwayatkan dari Aqabah ibnu Amr dan Ibnu Mas’ud bahwasanya Rasulullah SAW telah bersabda pernyataan para Nabi yang telah dikenal oleh manusia adalah bila anda tidak merasa malu, maka lakukanlah apa yang kamu kehendaki”[29] Ibnu Qudamah mengatakan bahwa orang yang memelihara rasa malunya berarti memelihara murû’ahnya. Jika orang berlaku demikian maka pantang baginya untuk mengatakan atau menyampaikan berita dusta, karena perbuatan seperti itu adalah perbuatan hina yang tidak akan dilakukan bahkan dihindari oleh orang yang sangat menjaga sifat murû’ahnya.[30] Menyimak beberapa definisi dan syarat yang diajukan oleh banyak ulama di atas, seolah-olah secara umum dapat disimpulkan bahwa seorang rawi yang âdil digambarkan dan diharuskan sempurna dalam bingkai batas-batas ideal, di mana ia harus menjadi seseorang yang tak berdosa. Inilah persoalan yang selalu dikhawatirkan di mana dengan konsep âdil itu diterjemahkan sebagai sesuatu yang berada di luar dimensi insani. Penerjemahan seperti ini, sebenarnya tak bisa dipungkiri karena ditujukan dengan tujuan untuk menggapai autentisitas hadis yang optimal. Namun, di sisi lain dibutuhkan adanya tolak ukur ilmiah dalam menerima periwayatan hadis berhubung pengkodifikasiannya terlambat dibanding Alqur’an. Oleh karena itulah, kebanyakan ulama menerjemahkan âdil pada sisi yang lebih realistis sehingga dapat terukur secara ilmiah.[31] Sebagaimana yang dikatakan oleh al-Syâfiî’, Ibnu al-Musayyab dan lain-lain. Ibnu al-Musayyab mengatakan bahwa, yang dimaksud âdil bukanlah yang terlepas dari dosa karena bagaimanapun juga “tidak ada seorang pun yang memiliki kemuliaan atau keilmuan kecuali ia pun memiliki aib. Namun, karena keutamaannya lebih banyak daripada kekurangannya, hal ini menjadikan aibnya tak tampak secara jelas.”[32] Hal senada dikemukakan pula oleh al-Syâfiî’ setelah beliau menjelaskan secara ideal konsep-konsepnya. Dalam hal ini beliau berkata bahwa, “aku tidak mengakui adanya seseorang diberi ketaqwaan pada Allah SWT sehingga ia tidak mencampurkannya dengan kemaksiatan. Hal seperti ini sebagaimana terjadi pada Yahya bin Zakaria Namun persoalannya, apabila ketaatan seseorang itu lebih banyak dari kemungkarannya maka ia pun termasuk orang yang âdil.[33] Adapun hal lain yang harus diperhatikan dalam memahami konsep âdil, di samping memiliki pengertian “tidak terlepas dari dosa”, juga yang dimaksud dengan âdil harus dinisbahkan pada periwayatan hadis bukan pada persaksian. Dalam hal ini, dalam persaksian dibutuhkan adanya dua orang saksi, sedangkan dalam periwayatan hadis minimal dibutuhkan satu orang.[34] Atas dasar ini, para ahli hadis menyusun kaidah-kaidah yang berkaitan dengan syarat dan definisi seseorang disebut orang yang âdil tidak bertentangan dengan fitrah kemanusiaan. Para ahli hadis menilai âdil tidaknya seseorang bukan berdasarkan kebersihan orang tersebut dari dosa, melainkan yang lebih berat timbangan sifat âdil-nya daripada syadz-nya.[35] [1] Muhammad Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadis Ijtihad al-Hâkim dalam menentukan Status Hadis Jakarta Paramadina, 2009, h. 94 [2] Muhammad Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadis. [3] Nuruddin Itr, Ulumul Hadis. [4] al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat. h. 156 [5] Hasbyi al-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. h. 205 [7] Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis. [8] Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis. h. 137 [9] Depatemen Agama RI, Alqur’an dan Terjemahannya. h. 846 [10] Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis. [11] Muhammad Dhiya’ al-Rahmân al-A’zhamî, Dirâsat fi al-Jarẖ wa al-Ta’dîl, Riyadh Dâr al-Salam, 1402 H, h. 177 [12] Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis. h. 138 [13] Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis. h. 138 [14] Nuruddin Itr, Ulumul Hadis. h. 73 [15] Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis. h. juga Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Irsyad al-Fuhul, Surabaya Salim bin Sa’ad bin Nabhan wa Akhuhu Ahmad, h. 44 [16] Ditakhrij oleh Imam Ahmad, Abû Daud, dan al-Hâkim dari Umar dan Ali ada juga jalur lain dari sayyidah A’isyah Lihat juga Jalaluddin al-Suyuthi, Fath al-Kabir fi Dhamm al-Ziyadah ila al-Jami’ al-Shagir, Mesir tanpa penerbit, Lihat juga Muhammad Ajaj al-Khatib, Ushûl al-Hadis Pokok-Pokok Ilmu Hadis. h. 203 [17] Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis, h. 139 [18] Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta Bulan Bintang, 1992, Cet. 1, h. 230 [19] Depatemen Agama RI, Alqur’an dan Terjemahannya. h. 846 [20] Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis. h. 139. Lihat juga Abû Hasan Ali bin Abî Ali bin Muhammad al-Âmidiy, al-Ahkâm fi Ushûl al-Ahkâm, Mesir Muhammad Ali Shâbih wa Aulâduh, 1387 H, juz 1, h. 261 [21] Abû Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidi, Asbâb al-Nuzûl Alqur’an, Riyadh Dâr al-Qiblat li Saqafat al-Islamiyah, 1404 H, h. 412-414 [22] Abû Qâsim Jar al-Allah Mahmûd bin Umar al-Zamakhsyari, al-Faiq fi Ghârib al-Hadis, Beirut Dâr al-Fikr, 1399 H, h. 116 [23] Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis. h. 139. Lihat juga Abû Abd al-Allah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, Jamî’ li Ahkam Alqur’an, Kairo Dâr al-Kitâb al-Arabi, 1387 H, Cet. 3, juz 16, h. 311-312 [24] Muhammad al-Arusi Abd al-Qadir, Masalah Takhshish al-Am bi al-Sabab au al-Ibrah bi Umum al-Hukm la bi Khushush al-Sabab, Kairo al-Mathba’ah al-Arabiyyah al-Hadisah, 1403 H, h. 54-62 [25] Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis. h. 140 [26] Abû Qasim al-Husain bin Muhammad al-Raghib al-Asfahani, al-Mufradat fi Gharib Alqur’an, Mesir Mushtafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1382 H, h. 380 [27] al-Qurthubi, Jami’ li Ahkâm Alqur’an. juz 1, h. 245-246 [28] Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis. h. 141 [29] Muhammad bin Yazid Abi Abdillah al-Qazawaini, Sunan ibn Majah, Beirut Dâr al-Fikr, juz II, h. 1400 [30] Abû Muhammad Abd al-Allah bin Ahmad bin Muhammad Ibn Qudamah, al-Mughni li Ibn Qudamah, Riyadh Maktabah al-Riyadh al-Hadisah, 1401 H, Juz IX, h. 169 [31] M Abdurrahman dan Elan Sumarna, Metode Kritik Hadis,. [32] M Abdurrahman dan Elan Sumarna, Metode Kritik Hadis,. [33] Rif’at Fawzi Abd al-Muthallib, Tawtsiq al-Sunnah fi al-Qarn al-Tsani al-Hijri. lihat juga M Abdurrahman dan Elan Sumarna, Metode Kritik Hadis,. [34] Fatcurrahman, Ikhtishar Musthalâh 249. lihat juga M Abdurrahman dan Elan Sumarna, Metode Kritik Hadis. [35] Faruq Hamadah, al-Manhaj al-Islami fi al-Jarẖ wa al-Ta’dîl Dirâsah Manhajiyyah fi Ulûm al-Hadis, Beirut Dâr al-Nasyr al-Ma’rifah, 1989, h. 158-159. Lihat juga Abdul Hakim, Adalah al-Shahabah Menurut Ahmad Amin. h. 29 Seorangperawi pun harus memiliki kecerdasan yang tinggi serta kejujuran, karena akan mempengaruhi hadits yang disampaikan. Baca Juga : Mengenal Ta Marbutah dalam Bahasa Arab dan Al Qur'an. Tidak semua orang bisa menjadi perawi hadits, tentunya ada banyak syarat yang harus dipenuhi untuk dapat meriwayatkan sebuah hadits. .
  • 5u898h1jxq.pages.dev/432
  • 5u898h1jxq.pages.dev/760
  • 5u898h1jxq.pages.dev/701
  • 5u898h1jxq.pages.dev/848
  • 5u898h1jxq.pages.dev/540
  • 5u898h1jxq.pages.dev/437
  • 5u898h1jxq.pages.dev/190
  • 5u898h1jxq.pages.dev/633
  • 5u898h1jxq.pages.dev/270
  • 5u898h1jxq.pages.dev/694
  • 5u898h1jxq.pages.dev/452
  • 5u898h1jxq.pages.dev/305
  • 5u898h1jxq.pages.dev/26
  • 5u898h1jxq.pages.dev/559
  • 5u898h1jxq.pages.dev/235
  • berikut ini yang tidak termasuk syarat perawi hadits adalah